#main-wrapper { width: 433px; padding:15px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper { width: 225px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper2 { width: 225px; float: left; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } -->

Jumat, 25 November 2011

'Simbiosis Mutualisme' Seorang Mu'min

♥ السلام عليكم ورحمة الله و بركاته ♥
Manusia, sebagai makhluk sosial tidak bisa lepas dari interaksi dan hubungan timbal balik yang membutuhkan satu dengan yang lainya. Karena dari awal penciptaannya [Adam a.s], manusia memang merasa kesepian dan tak berarti bila tidak ada teman yang menemani untuk melakukan proses interaksi dan berbagi. Maka, Hawa pun tercipta sebagai pendamping di Surga. Karenanya, sudah menjadi fithrah manusia untuk mencari mitra dalam hidup dan kehidupannya dalam berinteraksi guna saling membantu dan memberi kontribusi. Maka pantaslah Allah Swt dengan Keluasan Rahmat-Nya menciptakan berbagai suku, bangsa, ras dan kabilah-kabliah untuk saling mengenal satu sama lain. Proses tersebut mutlak butuh interaksi sosial. Firman Allah Swt:


"Hai manusia kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal".

(Al Hujuraat: 13)



Proses interaksi mempunyai implikasi yang cukup beragam sebagai akibat dari kontak sosial, salahsatunya adalah Simbiosis Mutualisme. Simbiosis Mutualisme merupakan istilah yang senantiasa dipakai dalam mencerminkan interaksi antara dua organisme yang berdampingan dan saling menguntungkan. Dalam prakteknya, terdapat sikap saling 'tolong menolong' yang membuahkan kebaikan bagi masing-masing organisme tersebut.

Seperti prilaku burung Jalak yang hinggap diatas punggung kerbau. Sang burung dengan lahapnya memakan binatang yang ada diatas punggung kerbau dengan tenang, kerbau pun merasa nyaman dengan kehadiran Sang burung karena tubuhnya merasa dibersihkan. Dengan demikian, proses interaksi yang saling menguntungkan tersebut antara burung Jalak dan Kerbau dinamakan dengan Simbiosis Mutualisme. Adapun antonim dari kata tersebut adalah Simbiosis Parasitisme, yang mana ada salah satu pihak yang dirugikan. Ataupun Simbiosis Kompetisi, yang mana kedua belah pihak saling merugikan.


Bagi seorang Mu'min, jelas sekali sikap yang harus dibangun adalah sikap yang mengarah dan menumbuhkan Simbiosis Mutualisme. Sikap yang saling menguntungkan antara Mu'min yang satu dengan yang lainya. Karena seorang Mu'mun satu dengan yang lainya merupakan ikhwah [mitra/ saudara], terlarang menciptakan suasana yang menimbulkan konflik yang berakibat terjadinya Simbiosis Parasitisme ataupun Simbiosis Kompetisi. Seperti dalam Firman Allah Swt:



Orang-orang mukmin sesungguhnya bersaudara; maka damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat,” (Q. Al Hujurat: 10)



Adapun sikap Kompetitif yang dibangun dalam ranah kehidupan antara mu'min yang satu dengan yang lainnya harus menuju dalam kebaikan yang tetap menuntut adanya Simbiosis Mutualisme. Bukan kompetitif yang merugikan (Parasitisme/ Kompetisi). Seperti Firman Allah Swt:



“Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148)



“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21)



Karena sikap kompetitif mu'min tersebut harus ditopang dan didasari dengan sikap ukhuwah. Sikap kompetitif yang tetap memperhatikan 'nasib' saudaranya. Karena seorang Mu'min yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu tubuh dan bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Maka, disanalah timbul Simbiosis Mutualisme antar Mu'min. Sikap menguntungkan dunia-akhirat dalam kebaikan dan ketaqwan. Bukan dalam kesalahan dan permusuhan. Seperti dalam Firman-Nya:



Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al Maidah:2)



Bahkan, seorang Mu'min harus menghilangkan seluruh sikap yang menjurus terhadap Simbiosis Parasitisme dan Simbiosis Kompetisi (sikap munkar) dan permusuhan. Seperti dalam Firman-Nya:



“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung". (QS. Ali Imran:104)



Dalam hadits Arba'in, Imam an Nawawi mencantumkan beberapa hadits yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti:



"Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri". (Riwayat Bukhori dan Muslim)



Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia " (Riwayat Muslim)



Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain". (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruqutni serta selainnya dengan sanad yang bersambung, juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwattho’ secara mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, dia tidak menyebutkan Abu Sa’id. Akan tetapi dia memiliki jalan-jalan yang menguatkan sebagiannya atas sebagian yang lain).



Maka, masihkah kita enggan belajar dari Burung Jalak dan Kerbau yang selalu hidup saling menguntungkan? Karena Mu'min tercipta bukan sebagai Mahjub bagi saudaranya. Semoga kita termasuk manusia yang paling baik, yaitu manusia yang dapat memberi manfaat bagi saudaranya.Wallahu A'lam Bish Shawab



Alan Ruslan Huban (Bidgar Da'wah PC. Pemuda PERSIS Cibatu, Mahasiswa STID Mohammad Natsir Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata yang positif melahirkan tindakan positif . . .