#main-wrapper { width: 433px; padding:15px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper { width: 225px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper2 { width: 225px; float: left; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } -->

Sabtu, 23 Oktober 2010

Hilangnya Kesadaran Mahasiswa

Mahasiswa tentunya merasa ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa masyarakat Indonesia. Sebagai kelompok terdidik yang merupakan lapisan kecil elite Indonesia yang sampai sekarang sarjana di Indonesia hanya sekitar 5% dari total penduduk Indonesia. 
Mahasiswa adalah lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berfikir dan berperan menjadi pendorong bergeraknya kehidupan masyarakat. Padahal untuk mendorong dinamika dan perubahan sosial yang berkaitan untuk penungkatan dan perbaikan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat diperlukan setidak-tidaknya 30% kelompok penduduk pada berbagai keahlian, terutama sekali pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Peran mereka sungguh sangat menentukan.

Sisanya di negeri ini dari keseluruhan penduduk, ada 85,7%, hampir mendekati seluruh jumlah penduduk di negeri ini yang hanya mengenyam pendidikan dasar, dan termasuk mereka yang drops out dari sekolah dasar. Kalau kita lihat laporan data ESCAP population data sheet tahun 2006 ada sebanyak 35,29% rakyat Indonesia tidak tamat SD. Ada sebanyak 34,22 % rakyat indonesia hanya tamat SD dan hanya 13% rakyat Indonesia hanya tamat SMP.

Pertanyaan sekarang ialah, apakah mahasiswa sudah berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat yang bersifat mencerdaskan dan memajukan taraf hidup mereka? Masih adakah perhatian terhadap kampung halaman yang mengharapkan uluran tangannya? Menjawab pertanyaan tersebut cukup susah karena beberapa persoalan senantiasa melingkari realitas mahasiswa. 

Pertama, mengingat study dan serangkaian kegiatan kampus yang padat sehingga sangat sedikit mahasiswa yang punya waktu untuk berkumpul dengan masyarakat khususnya di daerah desa. Kesibukan mahasiswa untuk terlibat dalam aktivitas kampus lambat laun menciptakan keengganan untuk merasakan apalagi menyelesaikan persoalan di pedesaan. Kesibukan mereka adalah bagaimana mahasiswa cepat selesai dengan nilai memuaskan dan cepat mencari kerja. Jadi kapan mahasiswa memiliki waktu untuk bercengkerama dengan orang-orang pedesaan?

Kedua, kita tahu bahwa hampir semua universitas sekarang berada sangat jauh dari lingkungan pedesaan atau sekarang cenderung berada ditengah kota misal UGM, UI, ITB, UIN, termasuk USU, UNIMED , IAIN dan yang lainnya. Dulu lingkungan universitas keberadaannya banyak diantara lingkungan masyarakat desa seperti UGM yang memiliki citra “kampus ndesa”, sehingga lebih bisa merasakan langsung penderitaan yang sedang dialami masyarakat desa. Sekarang ini, kalaupun ada keluhan atau pengaduan langsung dari masyarakat masih harus menunggu karena ada mekanisme birokrasi yang harus dipatuhi. 

Posisi universitas sekarang berada ditengah kota secara tidak langsung menjauhkan pergaulan mahasiswa dengan masyarakatnya. Intensitas pertemuan dan pergaulan mahasiswa dengan budaya kota ketika menjadi dominan memungkinkan mahasiswa menjadi lupa diri akan perannya dan lupa dengan tanggung jawab moralnya.
Bermuncullah kelompok-kelompok intelektual dengan kegemaran menjarah, merusak dan membinasakan lingkungan pedesaan, hutan dan habitat makhluk hidup. Mereka rubah budaya-budaya masyarakat menjadi obyek pasar dengan logika masyarakat konsumen. Para mantan mahasiswa berbondong-bondong ke desa dengan modal besar untuk menggusur mereka karena menjadikan citra buruk pembangunan. Lingkungan pedesaan kemudian disulap menjadi bermacam mega proyek untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. 

Pangkat dan keilmuan sebagai salah satu sebab yang menciptakan strata sosial dan menentukan tingkat penghargaan di masyarakat, akan tetapi karena orientasi berfikir mahasiswa dibentuk dengan logika masyarakat kota, akhirnya menjauhkan dan memisahkan dirinya dengan kehidupan masyarakat. Ia bersikap masa bodoh terhadap persoalan yang dihadapi bangsanya yang tinggal di pedesaan karena terbius dengan kemegahan dan gemerlap kota karena menyediakan fasilitas yang serba lengkap. Pengaruh pendidikan tinggi sering menanamkan superiority complex sehingga gengsi menghalangi mereka untuk bergaul dengan masyarakat yang masih serba sederhana dan terbelakang. Sering terdengar mahasiswa yang cenderung bersikap oportunis dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

Ketiga, kesalahan universitas kurang memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk bisa berkomunikasi dengan bahasa masyarakat pedesaan yang cenderung miskin terbelakang dan buta huruf. Program kuliah kerja nyata (KKN) ataupun PPL sebagai bagian dari proyek keumatan universitas dipahami mahasiswa hanya sebagai bagian dari mata kuliah. 
Dalam implementasinya, mahasiswa mencoba seoptimal mungkin meraih nilai A dan mengindahkan muatan pemberdayaan, orientasi mereka adalah nilai bukan bagaimana mampu mencerdaskan masyarakat. Sekarang ini sebagian besar masyarakat pedesaan melihat kedatangan mahasiswa tetap diperlakukan sebagai orang kota yang perlu dilayani bukan malah sebaliknya; mahasiswa yang melayani masyarakat pedesaan dengan program-program dan misi universitas yang mencerdaskan.

Keempat, sekarang ini mahasiswa bahkan menjadi salah satu bagian dari persoalan itu sendiri ditengah masyarakat pedesaan dengan semakin meningkatnya pengangguran sarjana yang, dilihat dari angka pengangguran terdidik di Indonesia telah mencapai angka 740 ribu, angka yang fantastis pada tahun 2007 (Republika, 13/02/2008). 
Meningkatnya jumlah pengangguran sarjana erat dipicu ketidakmampuan mahasiswa untuk bersaing karena keterbatasan skill dan lemahnya pembacaan potensi, kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup, ketahanan ekonominya di tengah masyarakat. Sementara ini kemampuan universitas hanya memberikan teori-teori sedang aplikasinya masih sangat minim. Akhirnya universitas seperti tempurung yang memenjarakan mahasiswa dalam aplikasi intelektualnya ditengah masyarakat.

Kelima, ketika mahasiswa nampak mapan karena mendapatkan pasokan modal kaum kapitalis dengan garis perjuangan ekonomi-kompromis. Aktivis mahasiswa banyak terlena dengan kecukupan ekonomi-material dan enggan berkonflik dengan penguasa modal dan penyedot aset rakyat. Mereka menjadi lupa akan garis perjuangan dan hakekat mahasiswa sebagai bentuk respon solutif berbagai persoalan dan realitas keumatan yang muncul. Lebih parah apabila kemapanan normatif menjadi landasan gerak, mereka akan melihat realitas menggunakan kacamata kuda. Semua serba hitam-putih, baik-buruk dan tidak mampu berfikir dengan jernih.

Keenam, ketika mahasiswa disusupi tokoh-tokoh ”pejuang politik praktis” yang identik dan lebih dekat ke struktur elite penguasa plus janji-janji bergula di kursi birokrasi. Maka beramai-ramailah elite mahasiswa mensosialisasikan politik-kompromis dengan mau menukar idealisme dan komitmen keumatan dengan kepentingan material-pragmatis.

Kekacauan aktivitas mahasiswa sekarang ini lebih cenderung disebabkan orientasi gerakan yang berubah dari awalnya yang merupakan gerakan intelektual dan kultural menjadi gerakan politik. Dominasi warna politik ini bisa kita lihat dari peran mahasiswa yang selalu mempersoalkan dasar legitimasi mkekuasaan. Bukan satu kewajiban yang harus ditinggalkan, tetapi ketika orientasi politik lebih dominan maka akan menghambat terwujudnya daya kreatif yang tersimpan didalamnya (gerakan inteektual dan kultural). Juga mengutuk mahasiswa dalam kestabilan yang mantap, stagnan dan mandul. Keadaan ini bisa menimbulkan sikap pengunduran diri atau apatis, atau seperti yang dikatakan David Reisman, ”privatisme”: penekanan nilai-nilai yang paling tipis hubungannya dengan kehidupan sosial. Mahasiswa akan sibuk dengan diri sendiri dan mempersetankan lingkungan sosial.
Barangkali sudah saatnya bagi mahasiswa memikirkan kembali peran-peran yang selama ini sudah dilakukan, mari kita budayakan gerakan intelektual masuk desa dengan mahasiswa sebagai lokomotifnya sehingga kesadaran dari mahasiswa akan membuka jalan bagi kemajuan masyarakat pedesaan. Dengan pengabdian yang sepenuhnya dari mahasiswa kiranya berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, akan mudah diserap masyarakat pedesaan sehingga daya kompetisi dan kemampuan bertahan hidup masyarakat pedesaan meningkat. Cukuplah jangan terus menerus menghambur di kota-kota besar, desa merupakan peringatan sejarah bahwa disana pernah dilahirkan manusia yang kini menjadi “Orang Besar”.

>>Dari berbagai sumber

Pencari RidhoNya
_Rd_

2 komentar:

Kata yang positif melahirkan tindakan positif . . .