#main-wrapper { width: 433px; padding:15px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper { width: 225px; float: right; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } #sidebar-wrapper2 { width: 225px; float: left; display: inline; word-wrap: break-word; overflow: hidden; -moz-border-radius: 5px 5px 5px 5px; -moz-box-shadow: 0 0 3px #CCCCCC; background: none repeat scroll 0 0 #FFFFFF; border: 1px solid #DDDDDD; margin: 5px; } -->

Senin, 28 November 2011

Memaknai Tahun Baru Hijriah


Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru 1433 Hijriah. Itu artinya hijrah Rasulullah saw. beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1433 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak dan handai-taulan tercinta. Dalam Ath-Thabaqat Al-Laits bin Sa’ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a. adalah  Rasulullah saw. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang karena itu artinya Allah telah membuatkan “tameng pertahanan”. Bukan sembarangan mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan persenjataan dan pembelaan.
Tetapi permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan tingkat siksaan dan celaan yang dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin untuk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw. “Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa yg ingin keluar-hijrah- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.” Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang dan tentu saja dengan sembunyi-sembunyi kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya atau istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.” Sebuah tantangan yg antiklimaks karena tak satu pun orang kafir Quraisy yg berani menampakkan batang hidungnya.
Tibalah Rasulullah di Yatsrib setelah sebelumnya para  sahabatnya lebih dulu sampai. Beliau disambut dengan penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Makna Hijrah Secara harfiah hijrah artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih  baik dari kebatilan menuju kebenaran dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah . Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam. Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yg besar. Hijrah berhubungan erat dgn al-wala’ wal-bara’ . Bal hiya min ahammi takaalifahaa bahkan ia termasuk manifestasi yg paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yg patut dimusuhi.
Dalam sejarah para rasul juga dekat dgn tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yg berujung pada menuju yg lebih baik atas ridha Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi semua demi risalah suci. Termasuk hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yg dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Adalah Ibrahim a.s. yang baru dikarunia Ismail anak yang selama ini dinanti harus meninggalkan Palestina bersama istrinya Hajar menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu sang istri menarik tali kekang tunggangannya dan bertanya “Apakah kau akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman lagi tak bertuan?” Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan “Apakah Allah yg memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar” jawab Ibrahim. Hajar menimpali “Jika demikian Allah tidak akan mempersulit kami.” Sungguh sebuah dialog yg menusuk hati merefleksikan keimanan yg amat dalam sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yg menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yg begitu tinggi bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan Maha Memberi Rezeki Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya baik secara makani maupun maknawi. Ibrah dari Hijrah Pelajaran yg nyata dari peristiwa hijrah adl sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang. Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yg barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yg penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya.
Hal ini sekaligus menegaskan betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yg lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air ia tidak akan bisa bertemu karenanya adl sebuah utopia upaya-upaya “mengawinkan” antara nilai Islam dengan civic culture  yang bertentangan dengan Islam terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme. Pelajaran berikutnya adalah perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya tidak ada sikap “non-blok”. Allah SWT berfirman yg artinya “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yg ragu-ragu.”  Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati tiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya para preman akan menghentikan aksi bromocorahnya tidak ada lagi muslim penimbun orang miskin akan bersuka cita karena kucuran infak para dermawan. Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip dan seterusnya. Lantas mengapa kenyataannya tidak demikian? Barangkali karena kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam. .
Referensi
1. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir
2. Al-Wala’ wal-Bara’ fil-Islam Muhammad Sa’id al-Qahthani
3. Fiqhus-Sirah Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kata yang positif melahirkan tindakan positif . . .